Ibu (2)

ibuAku        : “Ibu? Ada apa dengan matamu?? Mengapa terus teteskan air mata?? Ada apa ibu?? Matamumenatapku menatapku, tapi kau menangis, ada apa ibu??”

Ibu         : “Nak, kau sudah dewasa kini (membelai kepalaku).”

Aku        : “Iya ibu, lalu kenapa ibu menangis?”

Ibu         : “Ibu baru pulang dari pesta pernikahan anak teman ibu (menangis, mengusap air matanya). Ibusadar suatu saat nanti kau juga akan pergi bersama orang lain.”

Aku        : “Ibuu (memeluk Ibu), aku masih di sini. Aku tak kan pernah meninggalkan ibu, ibu akan ikut kemanapun aku pergi. Aku masih kecil ibu, jangan pikirkan hal itu.”

Ibu         : “Tidak nak, kau sudah dewasa kini. Mungkin beberapa tahun lagi ibu akan melihatmu menggenggam tangan orang lain, bukan menggenggam tangan ibu lagi, memeluk orang lain saat kau sedih bukan memeluk ibu lagi, tertawa dengan orang lain bukan dengan ibu lagi, makan bersama orang lain bukan ibu lagi, dan tinggal dengan orang lain bukan ibu lagi. (tersenyum)”

Aku        : “Siapa yang ibu maksud?? Hanya ibu yang bisa melakukan semua itu, tak akan pernah ada orang lain, ibu. (menangis).”

Ibu         : “(Tersenyum, memelukku) Suamimu nak, suamimu bisa memberikan semua itu. (Membelai kepalaku).”

Aku        : “Tapi ibu tetap menjadi satu-satunya yang aku ingin untuk membelaiku, memelukku, menggenggam tanganku, tertawa denganku, dan makan bersama denganku bu. Ibu harus tahu itu.”

Ibu         : “Iya nak, tapi tak selamanya ibu bisa menggenggam tanganmu, memelukmu, makan denganmu, tertawa denganmu, membelaimu. Ada saat Ibu harus pergi (tersenyum) dan kau harus temukan orang yang mampu mencintaimu seperti ibu.”

Aku        : “Tidak ibu, ibu tak kan pergi kemana pun. Ibu akan bersamaku, selalu, dan selalu bersamaku. Aku mencintai ibu, jangan pernah pergi dariku bu.(menangis)”

Ibu         : “(tersenyum) Ibu akan selalu ada di hatimu nak.”

Aku        : “Dan tetap akan ada di sampingku. Benar kan bu?”

Ibu         : “Carilah lelaki yang baik.”

Aku        : “Ibu, jangan pikirkan itu. Aku ingin hanya ibu yang akan tetap di sampingku. Apakah kau janji untuk itu ibu?”

Ibu         : “Nak, segala yang hidup akan menjadi mati. Begitupun ibu, kau bukan anak-anak lagi dan ibu yakin kau mengerti akan semua itu.”

Aku        : “Tidak ibu, jangan katakan tentang kematian. Ibu akan selalu bersamaku, aku tak mau tahu. Harus.”

Ibu         : “(tersenyum) ibu khawatir siapa yang nanti akan jadi pendampingmu.”

Aku        : “Ibu.”

Ibu         : “Nak??”

Aku        : “Ibu yang akan menjadi pendampingku sampai kapanpun.”

Ibu         : “(menghela nafas) ingatkan cita-citamu untuk tinggal jauh di sana? Jauh dari ibu dan bapak? Menikah dengan seorang kulit putih? Ingatkan?”

Aku        : “Ibu, aku tak pernah berencana meninggalkan bapak ataupun ibu, aku dulu selalu bilang untuk mengajak kalian berdua. Sungguh.”

Ibu         : “Iya, tapi tetap ibu selalu khawatir dengan rencana suamimu yang kulit putih itu.(tersenyum)”

Aku        : “Kenapa bu?”

Ibu         : “Apakah dia imam yang baik nantinya? Apakah dia bisa merawatmu dengan baik? Apakah dia bisa tersenyum padamu? Apakah dia akan benar-benar memelukmu? Apakah dia akan mencintaimu sampai akhir? Ibu sering mendengar hal buruk tentang mereka.”

Aku        : “Ibu, siapapun dia nantinya pasti dia yang akan mampu menjadi imamku yang baik. Ibu jangan terlalu memikirkan hal itu bu”

Ibu         : “Benarkah? Ibu tenang kalau begitu. (tersenyum)”

Ibu adalah segalanya bagiku, yang selalu mencintaiku, merawatku, memelukku dengan ketulusan, mengobati lukaku, menggendongku, menimangku, mengajakku ke tempat bermain, bahkan menangis untukku. Aku menangis, terik matahari tak pernah membuatku enggan untuk berlama-lama bersama ibu. Aku membelai batu putih yang ada di depanku, batu putih yang setia menemani raga ibuku di luar sini. Bahkan lebih setia daripada aku, anak ibuku. Bunga kamboja menebarkan wanginya di siang yang terik. Membawa wangi surga dan sampaikan salam ibu padaku.

Aku        : “Ibu, aku sudah memenuhi inginmu ibu. Aku menemukan imam yang kau impikan selama ini, maaf ibu jika aku sedikit terlambat. Aku sungguh menyesal untuk itu. Ibu, besok adalah pesta pernikahanku, aku tak tahu siapa yang akan kucium tangannya dan kumintai restu untuk itu. Aku tak tahu siapa yang seharusnya kumintai pendapat untukku lebih cantik, untuk memilih baju pengantinku, aku tak tahu siapa yang akan memelukku saat aku khawatir dengan pernikahanku, aku tak tau siapa yang akan mendampingiku saat ijab dan qabul. Ibu, aku berharap kau di sampingku, aku merindukanmu ibu. (menangis, mencium nisan ibu).”

(sesaat kemudian)

Aku        : “Doakan pernikahanku lancar ibu, walau tak kan pernah seindah jika ibu ada di sini. Ibu tenanglah di surga, aku akan setia menemanimu dalam doaku. Aku mencintaimu ibu, aku merindukanmu, semoga Tuhan selalu membelaimu, memelukmu, mengasihimu seperti yang kau berikan padaku selama ini.”

Leave a Comment